TRIBUNNEWS.COM -- Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPA Indonesia) selama ini dikenal dengan nama Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA). Penggunaan nama LPA Indonesia--sebagai pengganti nama Komnas PA--merupakan langkah kembali ke khittah 1998, yang sekaligus dilakukan sesuai regulasi agar tidak ada lagi kesan dualisme dengan KPAI. Ketua Umum LPA Indonesia adalah Seto Mulyadi (Kak Seto), didampingi Henny Rusmiati selaku Sekretaris Jenderal.
LPAI membangun persepsi dan sikap terkait kasus ujaran kebencian yang dilakukan oleh seorang , yang kemudian disusul dengan aksi vigilantisme oleh sekelompok individu terhadap anak tersebut.
Tindakan vigilantisme, betapa pun dilakukan sebagai respon terhadap individu yang diyakini telah melakukan pelanggaran hukum, tetap tidak bisa dibenarkan. Terlebih ketika individu yang dipandang melanggar hukum itu adalah anak-anak. Seluruh warga negara harus patuh pada ketentuan hukum positif. Atas dasar itu, LPAI mendorong pihak kepolisian untuk menindak secara profesional anggota masyarakat yang telah melakukan aksi vigilantisme yang menyasar seorang anak yang telah menyebar ujaran permusuhan dan kebencian terhadap individu, kelompok, dan agama tertentu melalui media sosial. Penindakan oleh kepolisian, LPAI pandang, merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa negara selalu hadir dalam rangka melindungi seluruh anak Indonesia, termasuk anak yang dikabarkan telah menyebarluaskan ujaran kebencian dimaksud.
Pada sisi itu, LPAI melihat anak tersebut sebagai korban. Terhadapnya sudah sepatutnya dilakukan pemulihan terhadap hak-haknya, baik secara umum selaku warga negara dan secara khusus selaku anak-anak. LPAI berharap tidak ada lagi anak-anak Indonesia--siapa pun mereka--yang mengalami tindakan vigilantisme.
LPAI meyakini bahwa supremasi hukum akan terealisasi manakala hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Atas dasar itu, LPAI mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tidak mengesampingkan pelanggaran hukum dalam bentuk apa pun yang dilakukan oleh siapa pun. Komitmen LPAI tersebut diejawantahkan dalam bentuk keberpihakan terhadap anak-anak yang telah mengalami viktimisasi, sekaligus memastikan bahwa hukum merupakan satu-satunya mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban terhadap anak-anak yang telah melakukan viktimisasi.
Pada sisi itulah, LPAI melihat bahwa anak yang dikabarkan telah menggunakan akun media sosialnya sebagai media untuk mengekspresikan kebencian merupakan seorang terduga pelaku pelanggaran hukum. LPAI menaruh keprihatinan mendalam menyaksikan kenyataan bahwa, dalam sekian banyak situasi, individu-individu berusia belia telah mendemonstrasikan mindset dan dan tindak-tanduk bermusuhan secara terbuka termasuk melalui media sosial. Sebagaimana kerisauan saat melihat berlangsungnya regenerasi pelaku teror yang melibatkan anak-anak, LPAI juga risau berhadapan dengan kenyataan berlangsungnya ekspresi permusuhan dan kebencian yang dilakukan anak-anak. Terhadap anak yang diduga telah melakukan ujaran kebencian itu, LPAI berpesan kepada otoritas penegakan hukum untuk melakukan penindakan sebagaimana mestinya. Yakni, proses hukum yang dari hulu hingga hilir senantiasa berada dalam koridor juvenile justice system, dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak sebagai batu penjurunya.
Penegakan hukum patut dilakukan untuk meyakinkan khalayak luas agar tidak lagi melancarkan aksi-aksi essential hakim sendiri. Penegakan hukum harus dilakukan guna memastikan tidak ada pembelajaran keliru bahwa remaja bebas dari tanggung jawab, bahwa negara permisif terhadap anak-anak yang melakukan tindak-tanduk tak semestinya, juga untuk menangkal terciptanya prakondisi bagi anak-anak lainnya untuk meniru perbuatan salah serupa.
Di samping dari perspektif hukum seperti tertuang di atas, LPAI mencermati masalah ini juga sebagai bahaya manifes terhadap kebhinekaan dan ukhuwah sesama warga bangsa. Tak pelak, ada agenda mendesak untuk mengedukasi anak-anak agar lebih mampu bermedia sosial secara cerdas, sehat, dan bertanggung jawab. Lingkungan keluarga, dunia pendidikan, dan masyarakat luas harus bersinergi menjadikan dunia nirbatas itu sebagai wahana hebat untuk menyemikan semangat kebhinekaan dan keguyuban, utamanya ke kelompok usia anak-anak dan remaja selaku netizen mayoritas. Materi edukasinya jelas, lugas: siapa pun, tak terkecuali anak-anak, tidak boleh menggunakan media sosial untuk menghujat, menghina, menyemburkan kebencian dan permusuhan, memfitnah, serta perilaku-perilaku disharmoni lainnya.
Sebangun dengan ruh keadilan restoratif, LPAI mengajak keluarga anak penyebar ujaran kebencian dimaksud serta keluarga anak-anak Indonesia lainnya untuk lebih sering lagi saling mengetuk pintu sesama warga, menjalin saling pengertian, serta membangun penghormatan satu sama lain. Mari jadikan diri kita--orang-orang dewasa--sebagai guru terbaik yang mengajarkan kurikulum kehidupan, modul keindonesiaan, serta mata pelajaran ketaatan hukum.
Tulisan Seto Mulyadi, Ketua Umum LPAI dan Henny Roesmiati, Sekretaris Jenderal LPAI