âToko halal di sini tidak terlalu banyak. Ada toko tertentu yang hanya menyediakan bahan-bahan halal, misalnya daging, sosis, nugget. Paling dekat dari sini terdapat tidak jauh dari Masjid Kobe. Namun, kalau mahasiswa yang jauh dari masjid biasanya datang ke Toko âGyomuâ, dan di sana pun hanya menyediakan beberapa produk halal saja,â ujar Pamela kepada Tirto.
Toko-toko penyedia makanan halal di negara-negara minoritas Muslim memang terbatas, selain pertimbangan pasar yang tak dominan juga persoalan regulasi yang ketat. Gilang Hanita Mayasari, istri dari seorang mahasiswa doktoral yang tengah bersekolah di College of Queensland, Australia, menceritakan pengalamannya, untuk mendirikan restoran halal bukan hal mudah, karena harus memenuhi peraturan dan sertifikasi produk halal.
âRestoran yang ada label halalnya berarti semua makanannya halal. Syaratnya adalah, di sana tidak jual pork [babi]. Kalau pun jual pork, dapurnya harus dipisah. Kan nggak boleh makanan halal kecampur sama minyak atau peralatan yang berbahan pork. Untuk restoran yang seperti ini, sertifikasi halal mahal dan ribet. Harus selalu dipantau terus oleh pemerintah. Makanya, banyak restoran yang nggak mencantumkan cap halal karena ribet,â jelas Gilang kepada Tirto.
Namun, Gilang melihatnya ini sebagai peluang produk makan halal di tempatnya tinggal, hingga memunculkan ide membangun usaha makanan halal. Ia mengembangkan bisnis katering yang konsumennya dari rekan-rekan hingga para mahasiswa Muslim di Queensland.
Apa yang dialami Pamella dan Gilang hanya contoh bahwa peluang bisnis makanan halal cukup menjanjikan di negara-negara minoritas Muslim seperti Jepang, Australia, Perancis, Amerika Serikat dan lainnya. Pasarnya tak hanya warga asing Muslim tapi penduduk Muslim lokal.
Secara international pasar produk makanan halal diperkirakan akan terus bertumbuh. Technavio memperkirakan pasar makanan halal bakal meningkat rata-rata 15,5 persen per tahun selama 2017-2021. Total pasar produk halal global bernilai lebih dari US$3,6 triliun pada 2013, dan ditaksir akan menembus US$5 triliun di pada 2020, termasuk di dalamnya ada pasar makanan halal yang diproyeksikan mencapai US$1,6 triliun pada 2018. Â
Produk Halal di Negara Minoritas Muslim
Pasar produk makanan halal di negara Minoritas muslim juga ditopang dari pertumbuhan penduduk Muslim di sana. Populasi Muslim dunia diperkirakan mencapai 1,6 miliar jiwa pada 2010 atau 23 persen populasi dunia, terbanyak masih di Asia Pasifik, lalu Timur Tengah, Afrika Sub Sahara, Eropa hingga Amerika Utara dan Latin. Populasi diperkirakan akan bertambah menjadi 29 persen populasi dunia hingga 2050.
Penelitian PEW yang dituliskan kembali oleh Syed Atiq ul Hassan dalam Tribune Internasional mengungkapkan lebih dari 20 persen populasi Muslim di dunia tinggal di negara-negara minoritas Muslim, terutama di negara-negara Barat. Pergolakan politik dan bentrokan etnis di beberapa negara Muslim juga mengakibatkan migrasi Muslim ke negara-negara Barat, sehingga menambah populasi di negara minoritas Muslim.
Populasi Muslim di Amerika Serikat misalnya, diperkirakan meningkat dua kali lipat dalam 20 tahun ke depan,  dari 2,6 juta jiwa menjadi 6,2 juta jiwa pada 2030. Di Eropa, populasi Muslim diperkirakan akan tumbuh sebesar 33 persen selama 20 tahun ke depan, meningkat dari 44 Juta menjadi 58 juta jiwa pada  2030. Sedangkan Muslim Australia akan meningkat dari 2,2 persen menjadi 4,9 persen pada 2050 yang berarti satu juta lebih Muslim di Australia pada 2050, di salah satu kawasan Asia Pasifik ini.
Asia Pasifik sebagai kawasan terbesar populasi Muslim dunia menjadi pasar potensial produk dan makanan halal, tak kecuali di negara-negara minoritas Muslim seperti Jepang. Atase Perdagangan Indonesia di Tokyo Julia Gustaria Silalahi pernah mengatakan bahwa peluang ekspor produk halal ke Jepang masih sangat terbuka lebar. âMenurut data yang dilansir dari Brand Research Institute Inc, penduduk muslim di Jepang diperkirakan berjumlah 185 ribu orang dan nilai pasar produk halal tidak kurang dari JPY 54 miliar,â kata Julia.
Jenis produk makanan halal yang diminati oleh konsumen Jepang adalah daging. Kantor perwakilan Indonesia di Tokyo melaporkan bahwa Jepang hanya mampu memenuhi sekitar 40 persen dari kebutuhan dalam negeri, sehingga ekspor makanan ke Jepang diperkirakan akan terus tumbuh termasuk untuk produk daging halal.
Pasar produk makanan dan minuman halal di Jepang ditaksir akan terangkat terkait akan digelarnya Olimpiade Musim panas pada 2020 mendatang di Jepang. Data Brand Research Institute menyebutkan bahwa 2013 terdapat sekitar 350 ribu wisatawan Muslim yang berkunjung ke Jepang. Jumlah tersebut diperkirakan akan tumbuh menjadi dua kali lipat pada saat Olimpiade Musim Panas 2020 digelar.
Pasar produk halal yang juga penting adalah Eropa, sebagai kawasan populasi Muslim terbesar keempat dunia, hingga mencapai 43 juta jiwa (2010). Permintaan produk halal di pasar Eropa juga meningkat rata-rata 15 persen per tahun sejak 2003. Muslim di negara-negara Eropa umumnya adalah minoritas, termasuk di Perancis.
Sebuah publikasi yang dilakukan oleh Geo Population dalam laporan Kementerian Perdagangan penduduk Muslim di Perancis pada 2011 mencapai 4,7 juta jiwa atau 7,5 persen dari total penduduk negara sekuler tersebut. Di Perancis, dalam kurun waktu 4 tahun, rata-rata pertumbuhan penduduk Muslim mencapai 1,125 persen per tahun. Di negara ini pasar daging mempunyai permintaan tertinggi di antara makanan halal lainnya.
Hal ini tentu terkait dengan hukum di Islam yang memang mempunyai ketentuan dalam penyembelihan hewan. Penelitian yang dilakukan oleh Florence Bergeaud Blackler dan Karijn Bonne, menemukan bahwa masyarakat mengkonsumsi makanan halal di Perancis karena rasa daging dan ayam halal dinilai lebih enak. Meskipun begitu, Florence dan Karijn menemukan bahwa alasan utama masyarakat membeli produk halal adalah karena perintah agama.
Baca juga artikel terkait HALAL atau tulisan menarik lainnya Suhendra
(tirto.id - dra/dra)