Dua kota penting Kekaisaran Jepang itu luluh lantak. Beton, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan dibalut api. Bangkai bergelimpangan. Bau busuk dan penderitaan ada di mana-mana. Jepang tak butuh banyak waktu untuk minta ampun kepada sekutu.
Kabar bahwa Jepang menyerah tanpa syarat itu pun tersiar di Indonesia lewat Radio BBC London pada 14 Agustus 1945, tepat pada hari keenam orang-orang Islam Indonesia menjalani puasa Ramadan.
Ahmad Aidit, yang di kemudian hari dikenal sebagai Dipa Nusantara Aidit, adalah salah satu orang Indonesia yang mula-mula mendengar berita tersebut. Ia menemui Wikana, yang beberapa tahun lebih tua darinya. Wikana bekerja di Asrama Indonesia Merdekaâ"yang disponsori Angkatan Laut Jepang (Kaigun) di Jakarta. Di sana ada Laksamana Tadashi Maeda. Aidit menyarankan agar Wikana mengadakan pertemuan dengan kawan-kawan mereka sesama pemuda progresif. Wikana setuju.
Esoknya, sejumlah pemuda berkumpul di belakang areal laboratorium Bacteriologi & Higiene Genees Kundige Hooge College (kini menjadi gedung laboratorium mikrobiologi Universitas Indonesia). Hadir antara lain Chaerul Saleh, Subadio Sastrotomo, Sukarni, dan Adam Malik. Chaerul Saleh memimpin rapat itu. Kesepakatan mereka: Suroto Kunto, Subadio, Wikana, dan Aidit akan menghampiri Sukarno dan mendesak agar kemerdekaan Indonesia segera diumumkan.
Malam itu, Sukarno yang baru pulang dari Da Lat, Vietnam, berkumpul dengan tokoh-tokoh âgolongan tua.â Bersama golongan itulah ia sebelumnya merancang Undang-undang Dasar dan Pancasila.
Menurut Ahmad Subardjo dalam autobiografinya Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi (1978), sekitar pukul 11 malam, Wikana menyampaikan hasil rapat para pemuda. Terjadi perdebatan sengit di rumah Sukarno. Golongan tua menganggap para pemuda terburu nafsu dan rencana mereka rentan jadi langkah yang keliru. Sukarno yang terjepit mulanya cenderung menyetujui golongan tua.
Sementara Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (1988) menyebut, keengganan Sukarno itu justru membuat Wikana dan kawan-kawannya terus mendesak.
"Apabila Bung Karno tidak mau mengumumkan kemerdekaan malam ini juga, besok akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah," kata Wikana mengancam.
Sukarno membalas tak kalah sengit, "Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu dan sudahi saja nyawa saya malam ini juga, jangan menunggu besok."
Sebelum pagi hari kedelapan puasa Ramadan 1945, barangkali setelah makan sahur, Sukarno dan Hattaâ"beserta anak-istri Sukarnoâ"dibawa para pemuda ke Rengasdengklok.
Kembali dari Rengasdengklok, Sukarno dan Hatta hanya sebentar di rumah masing-masing dan harus pergi lagi ke rumah Laksamana Maeda bersama tokoh-tokoh lain seperti Sayuti Melik, Ahmad Subardjo, Iwa Kusumasumatri dan lain-lain. Di sanalah mereka menyusun naskah Proklamasi dalam tempo sesingkat-singkatnya. Dinihari 17 Agustus 1945, jelang waktu sahur untuk hari puasa kesembilan, naskah itu kelar.
âSebelum pulang [dari rumah Laksamana Maeda], Sukarno dan Hatta makan sahur dengan roti, telor, dan sardines,â tulis Suhartono Pranoto dalam Kaigun, Angkatan Laut Jepang, Penentu Krisis Proklamasi (2007). âSetelah pamit dan mengucapkan terima kasih kepada Laksamana Maeda, mereka pulang,âÂ
Mungkin karena kelelahan, Sukarno demam. Ia bangkit dari tempat tidurnya pada pukul 09.30. Namun, dengan ketegaran yang lebih besar daripada sakitnya, setengah jam kemudian ia menjalankan tugasnya: mengumumkan kemerdekaan Republik Indonesia secara bermartabat.
Esok harinya, di Pejambon, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Undang-undang Dasar. Sukarno dipilih sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pada 19 Agustus 1945 atau hari kesebelas puasa Ramadan, Republik Indonesia membentuk kabinetnya yang pertama. Adapun tentara nasional yang bernama Badan Keamanan Rakyat didirikan pada 22 Agustus 1945 atau hari keempatbelas puasa Ramadan. Begitulah kemenangan para pendiri bangsa dan para pemuda penggerak Proklamasi. Mereka menang sebalum Hari Kemenangan. Mereka menang pada saat nafsu harus dikalahkan, termasuk nafsu berupa penjajahan.
Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi
(tirto.id - pet/dea)