Nabi Musa pernah ditegur Tuhan saat merasa ia manusia terpandai. Teguran yang membuat Nabi Musa harus belajar kepada Nabi Khidir.
Nabi Nuh ditegur Tuhan saat mencoba menyelamatkan putranya yang menyekutukan Tuhan. Nabi Yunus ditegur dengan ditelan oleh ikan besar. Nabi Ibrahim ditegur Tuhan ketika menolak melayani tamu hanya karena si tamu adalah seorang Majusi.
Teguran yang sama juga pernah terjadi kepada Nabi Muhammad. Teguran yang sampai membuat Nabi merasakan sakit luar biasa seakan terkena pukulan keras. Dan asal teguran dari Tuhan itu adalah kisah seorang buta, sahabat Nabi, yang yang memiliki suara indah penyeru asma Allah.
Orang-orang Madinah memanggilnya dengan sebutan âAbdullahâ. Orang-orang kurdi memanggilnya dengan panggilan âAmrâ. Ia adalah sepupu Siti Khadijah, yang artinya sepupu dari Nabi Muhammad juga.
Ibu Abdullah punya laqob (panggilan) âUmmi Maktumâ karena melahirkan anak yang buta whole. Anak yang kemudian memiliki nama Abdullah bin Ummi Maktum, sahabat Nabi yang buta sejak lahir. Itulah yang membuat orang Mekkah lebih sering memanggilnya dengan âIbnu Ummi Maktumâ.
Jika dibandingkan beberapa sahabat seperti Abu Bakar sampai Ali bin Abu Thalib, sahabat Nabi satu ini tidaklah begitu dikenal. Jangankan Abu Bakar, bahkan dibandingkan Salman Al-Farisi sekali pun, nama Abdullah jarang sekali diketahui dan ditulis dalam tradisi khazanah Islam, meski ia salah satu generasi as-sabiquna al-awwalun, orang pertama yang memeluk Islam.
Suara Abdullah sangat bagus, bahkan tak kalah bagus dibanding Bilal bin Rabah. Hal inilah yang membuat Abdullah punya tugas bergantian dengan Bilal dalam mengumandangkan azan semasa di Madinah. Ada salah satu riwayat saat bulan Ramadan: âMakan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum (Abdullah) mengumandangkan azan. Karena ia tidak akan azan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq.â
Dalam kitab Shuwar min Hayaatis Shahabah karya Abdurrahman Raâfats al-Basya, dikisahkan bahwa Abdullah adalah salah satu sahabat yang paling semangat mengikuti segala macam majelis yang diadakan Nabi. Saking antusiasnya, Abdullah sering terdengar rewel jika sedang bersama Nabi.Â
Karena kerewelan ini, Nabi sempat berpaling dari Abdullah, bahkan dengan wajah masam. Itu terjadi beberapa saat sebelum peristiwa hijrah saat Nabi masih menyebarkan Islam di Mekkah.
Peristiwa ini terjadi saat Nabi sedang berdialog dengan pembesar-pembesar suku Quraisy. Dalam riwayat Anas bin Malik (Al-Tibyan fi Ulum al-Qurâan, Beirut: 59), disebutkan bahwa di antara pembesar itu ada Utbah bin Rabiâah, Abbas bin Abdul Mutahlib, dan Abu Jahal bin Hisyam. Mereka adalah orang yang punya kedudukan penting di Kota Mekkah.
Ini adalah pertemuan yang sebenarnya sudah dinanti Nabi. Selain Nabi bisa berdiskusi mengenai Islam dan mencoba menerangkan nilai-nilai ajaran agama baru tersebut di lingkungan Mekkah, ia juga bisa bertemu dengan Walid bin Mughfirah, ayah panglima tempur ulung Khalid bin Walid, seorang pembesar dari suku Quraisy. Dialog dengan banyak orang penting dalam satu tempat semacam ini jelas menjadi kesempatan yang tidak akan dilewatkan oleh Nabi.
Saat diskusi sedang intens, mendadak Abdullah mendekat dan tanpa tedeng aling-aling berbicara kepada Nabi. âYa Rasulullah, ajarkan kepadaku ayat-ayat yang telah Tuhan ajarkan kepada Engkau. Berilah aku petunjuk,â kata Abdullah. Karena sedang berbicara dengan banyak orang, Nabi tidak memperhatikannya.
Tidak hanya itu, Nabi memalingkan muka. Fokus Nabi mengarah kepada Abu Jahal dan pembesar Quraisy lain. Ibnu Katsir pun menafsirkan peristiwa ini bahwa Nabi sampai tidak memerhatikan perkataan Abdullah Ar-Rifaâi (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid IV, hlm: 911).
Dalam tafsir Al-Maraghi (Juz 30, hlm. 70) oleh Musthafa al-Maraghi, hal ini cukup masuk akal. Sebab, jika Nabi bisa meyakinkan banyak pembesar Quraisy, sudah tentu kedudukan dan keamanannya di Mekkah dalam menyebarkan ajaran Islam terjamin. Apalagi jika sebagian pemimpin Kota Mekkah bisa masuk Islam, tidak akan ada peristiwa Hijrah untuk mencari suaka atau peperangan yang menumpahkan darah di jazirah Arab dalam sejarah berdirinya agama Islam.
Setelah berdialog, Nabi pulang ke kediamannya. Dalam perjalanan pulang itulah mendadak pandangan Nabi gelap dan kepalanya terasa sakit seperti ada seseorang yang memukul begitu keras. Dalam tafisr Ibnu Katsir, dikatakan: âTiba-tiba Tuhan menahan pandangannya dan menundukkan kepalanya.â
Lalu muncullah wahyu yang menjadi awalan surat âAbasa. Surat dalam Alquran yang masuk sebagai Surat Makiyyah (surat yang turun di kota Mekah) dan menjadi bagian dari Juz 30. Lafal-lafal itu muncul begitu saja dalam pikiran Nabi. Muncul sebanyak 16 ayat, yang berisi teguran langsung kepada Nabi.
â(1) Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (2) karena telah datang seseorang yang buta kepadanya. (three)Â Tahukan engkau barangkali dia (Abdullah) ingin membersihkan dirinya dari dosa? (four) atau pelajaran, lalu dari pelajaran tersebut dapat memberi manfaat kepadanya?"
Rangkaian wahyu pada ayat ke-10 berbunyi fa-anta âanhu talahha:Â Maka kamu mengabaikannya.
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah (2002: 60) penyebutan kata awal âabasa (dia yang bermuka masam), adalah bentuk persona ketiga; artinya: tidak menunjuk langsung kepada Nabi dengan menyebut nama.
Hal ini isyarat bahwa teguran itu masih bersifat halus. Sedangkan kata al-aâmaaa (yang buta) mengisyaratkan Abdullah bersikap demikian karena ia tidak bisa melihat apa yang terjadi, sehingga bentuk ketidaksopanan Abdullah cukup bisa ditoleransi.
Sekalipun isi wahyu adalah kritik terhadap dirinya sendiri, Nabi Muhammad tetap segera menyebarkan wahyu yang baru saja diterimanya itu kepada para sahabat.
Kita bisa memetik dari kisah ini: Sekalipun Nabi adalah manusia yang dimuliakan dan terhindar dari dosa, ia tidak pernah merasa perlu untuk menutup-tutupi kekeliruan yang pernah dilakukannya.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Baca juga artikel terkait DAFFY AL-JUGJAWY atau tulisan menarik lainnya Ahmad Khadafi
(tirto.id - daf/fhr)