Letak Guyana di bagian utara benua Amerika Latin dan anggota dari negara-negara komunitas Karibia seperti Suriname, Jamaika, dan lain-lain lantaran memiliki kesamaan budaya, sejarah, dan politik.
Islam adalah agama terbesar ketiga yang dipeluk penduduk Guyana setelah Kristen dan Hindu. Kehadirannya di tanah Guyana punya sejarah panjang dan turut mewarnai masa-masa kolonial, baik di bawah kolonial Belanda maupun Inggris.
Berdasarkan sensus resmi tahun 2012, sebesar 6,eight persen dari whole 746.955 penduduk Guyana adalah pemeluk agama Islam. Jejak awal kedatangan Islam di kawasan Karibia ini dapat dilacak dari masa kolonial ketika para budak dari Afrika Barat, termasuk para muslim Mandingo dan Fulani, diangkut oleh Kerajaan Inggris. Mereka bersama para budak lain dipekerjakan di perkebunan tebu.
Raymond Chickrie dalam "Muslims in Guyana: historical past, traditions, battle and alter" menulis bahwa peristiwa Pemberontakan 1763, yang dipimpin oleh Cuffy, seorang pahlawan nasional Guyana yang menggerakkan 2.500 budak melawan rezim kolonial, ditemukan syarat dan ketentuan perdamaian yang dikirimkan kepada Belanda dalam bahasa Arab. Ini mengindikasikan terdapat pemeluk Islam dalam kelompok Cuffy.
Namun begitu, dalam tahun-tahun berikutnya, kondisi perbudakan di bawah sistem kolonial menyebabkan praktik keagamaan Islam perlahan hilang dan terhapus. Sampai tahun 1838 seiring kedatangan 240.000 orang dari Asia Selatan, yang saat ini merujuk pada wilayah India, Pakistan, dan Afganistan, perlahan praktik keagamaan Islam kembali menggeliat hingga mewarnai keislaman Guyana sampai sekarang.
Gelombang ini, selain membawa komunitas Muslim, juga berkontribusi atas bertambahnya para pemeluk Hindu, agama terbesar kedua di Guyana. Baik pemeluk Hindu dan kaum muslim dari perdesaan, yang sama-sama (dulunya) jadi budak kolonial, digambarkan selalu memiliki hubungan yang baik.
Setelah merdeka dari Inggris pada 1966, Guyana tak segan menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Arab seperti Mesir, Irak, dan Libya, sekaligus membuka kedutaan besar mereka di ibukota Guyana, Georgetown. Para pemuda muslim Guyana juga menuntut ilmu ke negara-negara Arab guna memperdalam keagamaan dan bahasa Arab.
Lawatan Presiden Cheddi Jagan pada 1996 ke Suriah, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Lebanon membuahkan keanggotaan Guyana di Organisasi Konferensi Islam (OKI) dengan statusnya sebagai pengamat tetap. Dan, pada 1998, Guyana resmi menjadi bagian dari anggota OKI.
Hubungan para pemeluk Hindu dan Islam di Guyana masih terjalin dalam bingkai harmonis dengan melihat banyak latar belakang kultur etnis, bahasa, dan budaya yang sama. Seperti dilansir dari medial lokal Queens Tribune, Richard David, pemimpin sipil di Guyana, mengatakan perkawinan lintas agama antara muslim dan Hindu atau bahkan muslim dan Kristen adalah hal yang biasa.
Bahasa Urdu praktis lazim dijumpai di Guyana mengingat sejarah asal mula penduduknya dibawa dari Asia Selatan. Bahasa ini populer di kalangan orang Indo-Guyana, sebutan untuk orang-orang yang berakar dari Asia Selatan. Mereka gemar menonton movie dan mendengarkan musik dari Bollywood. Dalam hal keagamaan, bahasa Urdu dipakai untuk pelbagai perayaan dan peringatan seperti Maulid Nabi, Isra Mikraj, kasidah, pernikahan, dan lain-lain.
Meski begitu, eksistensi budaya maupun keseharian bahasa Urdu di kalangan umat muslim Guyana harus bersaing bahasa lain seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab sendiri yang dipandang lebih Islami dan ortodoks.
Gerakan untuk membersihkan tradisi lokal terus dalam tegangan. Gesekan antara generasi muda dan tua bersilangan. Institusi pendidikan, tempat para pelajar muslim, diyakini memengaruhi gesekan tersebut. Belajar ke negara Arab menjadi tren dibanding belajar ke Pakistan, India, atau Malaysia.
Warga muslim pernah dilarang berpartisipasi dalam pemilu Guyana. Terhitung, sejak kemerdekaan pada 1966 yang dicapai dari Inggris, tongkat pemerintahan dipegang oleh kelompok etnis dan agama Afro-Kristen.
Pernah muncul gerakan untuk membuat sebuah partai Islam bernama Partai Persatuan Muslim Guyana pada periode 1970-an guna mewadahi ekspresi politik Islam, tetapi gagal menarik suara dari kalangan muslim. Banyak dari mereka beranggapan bahwa membuat partai politik berlatar agama tidak akan memberi kebaikan. Namun, tindakan pelarangan untuk ikut pemilu ini sudah berakhir pada 1992.
Pelbagai hari raya besar umat Islam sampai kini ditetapkan sebagai hari libur nasional, seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid Nabi. Ia diakui oleh pemerintah Guyana, bersama hari besar agama lain, baik Hindu maupun Kristen.
Baca juga artikel terkait ISLAM atau tulisan menarik lainnya Tony Firman
(tirto.id - ton/fhr)