"New York," kata Steinbeck, "adalah kota yang buruk, kotor. Iklimnya adalah skandal, politiknya bikin takut anak kecil, lalu lintasnya gila, kompetisinya bisa bikin orang saling bunuh."
Tapi, lanjut Steinbeck, "Ada satu hal tentang New York. Sekali kamu tinggal di New York dan ia sudah jadi rumahmu, tak ada tempat yang sebagus New York."
Bagi saya, gambaran New York bisa sedikit banyak terbayang berkat Dita Anggraeni. Saya bertemu dengannya, juga New York, secara tidak sengaja. Pertemuan ini tidak dalam arti harfiah. Sekira setahun silam, saya mengetikkan kata kunci tentang musik. Saya sendiri juga sudah lupa mengetikkan apa. Kata kunci itu membawa saya ke weblog Dita. Sejak saat itu, saya jadi penggemar blognya.
Dita adalah desainer grafis di Persatuan Bangsa-Bangsa, lebih tepatnya di Workplace for the Coordination of Humanitarian (OCHA). Pekerjaannya sehari-hari adalah memproduksi infografik, bahan visible untuk kepentingan komunikasi dan relasi dengan donor. Karena bekerja di OCHA, ia mengurusi penggalangan dana untuk krisis kemanusiaan seperti soal pengungsi Suriah, konflik di Yaman, atau banjir di Sri Lanka.
Di blognya, Dita bercerita apa saja tentang New York. Mulai soal yang berhubungan dengan pekerjaan, mencari apartemen, menonton konser musik, hingga memasak untuk lebaran. Soal konser, ia bikin saya sirik. Dita pernah menonton Lisa Loeb, Blur, Hinds, Dâangelo, Depeche Mode, hingga Smashing Pumpkins. Namun bukan mereka semua yang jadi konser favorit Dita selama di New York, melainkan konser Sting dan Peter Gabriel di Jones Seaside, 2016.
"Mereka nyanyi berselang-seling, kadang Sting dan band-nya membawakan lagu Peter Gabriel, kadang Peter nyanyi lagu Sting, kadang mereka nyanyi bareng. Visualnya juga juara dan venue di tepi pantai itu membawa aura gimana gitu. Nonton 'If I Ever Lose My Religion in You' dengan latar belakang matahari terbenam itu rasanya sureal," ujar Dita.
Di weblog Dita juga ada berbagai pengalaman menjalani Ramadan di New York. Saat tinggal di kawasan East Village, Dita biasa salat tarawih di Masjid Madina yang hanya berjarak satu blok dari apartemennya. Salat Isya dimulai pada pukul 22.15. Dilanjutkan Tarawih yang berlangsung 23 rakaat. Baru selesai pukul 23.30.
Ramadan juga berarti lebaran dan masakan enak. Pada 2013, Dita berlebaran di New York. Untuk mengingat kampung halaman, ia memasak ketupat, kari ayam, sambal goreng hati, dan es teler.
"Itu pembuktian bahwa saya bisa masak," tulis Dita di blognya.
Tahun berikutnya, selepas salat Idul Fitri di sebuah lapangan basket dekat apartemennya, Dita membuat rendang yang tentu dibarengi oleh ketupat, kari ayam, opor ayam, dan es cendol. Karena baru pertama membuat rendang, ia lupa kalau rendang harus terus diaduk supaya santan tidak pecah. Ia baru ingat setelah rendang sudah setengah jadi.
"Ya akhirnya ronda. Sambil ketiduran sedikit, tapi demi rendang yang nendang saya bolak-balik nyatronin dapur," kata perempuan yang menggemari band Smashing Pumpkins ini.
Pengalaman merantau pertama Dita sebenarnya bukan ke New York. Pada 2007, saat bekerja di Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), ia diterjunkan ke Mozambik sebagai mapping officer untuk kluster tenda darurat. Saat itu Mozambik baru saja diterjang banjir besar. Lembaga PBB OCHA memperkirakan 121.000 orang mengungsi dari rumahnya.
"Tapi di Mozambik cuma sebulan, enggak tahu deh itu bisa disebut merantau apa enggak," ujarnya.
Merantau panjang Dita datang pada 2008. Dita sedang menempuh grasp di jurusan Geo-Info Science and Earth Statement, Universitas Twente. Di sana pula Dita merasakan Ramadan pertama di luar negeri. "Enggak ada iklan sirup di teve," ujarnya berkelakar. Dita pulang ke Indonesia pada 2010, dan pada Oktober 2011 ia melanglang ke New York hingga sekarang.
"Tahun ini puasa di New York sekitar 15 atau 16 jam. Agak cepat sih, karena tahun lalu waktu puncak musim panas, durasinya lebih lama," ujar Dita.
Menjalani Ramadan sekaligus lebaran di luar negeri membuat Dita selalu ingat masakan yang ada di rumah. Bisa dibilang meja makan di rumah orang tua Dita adalah Indonesia dalam bentuk yang lebih kecil. Ayah Dita adalah orang Malang, sedangkan sang ibu berasal dari Riau. Mereka sejak lama tinggal di Bandung.
Masakan di rumah Dita memang didominasi oleh masakan Riau. Ia menyebut gulai, kari, dan berbagai jenis sambalado. "Mama sebagai manajer dapur senang masakan yang banyak bumbu dan cenderung pedas," katanya.
Dita menyebut sang ibu sebagai manajer dapur. Ia menyusun menu setiap pagi. Namun karena ia bekerja, tim eksekusinya adalah Bibi, seorang perempuan Sunda. Ia dibantu oleh dua tante dan nenek. Karena sang Bibi adalah komandan teknis di dapur, maka tak heran kalau ia pun sering memasak makanan Sunda. Mulai sayur asam hingga karedok.
Saat Ramadan datang, Dita mengaku tak ada makanan khusus yang hadir. Sama seperti hari biasa. Namun yang membedakan adalah jumlahnya. Makanan lebih berlimpah ketimbang hari biasa. Yang pasti ada adalah minuman segar seperti es teler atau cendol. Ada pula gorengan seperti pisang goreng, lumpia, kroket. Bergantian dengan aneka kue dan jajanan pasar.
"Meja makan jadinya seperti pasar Benhil deh," ujar Dita menyebut Bendungan Hilir, nama kawasan di Jakarta Pusat yang selalu menjadi sentra takjil saat Ramadan.
Selama hidup di Indonesia, Dita tak pernah memasak. Ketika pindah ke New York dan punya dapur sendiri, ia jadi senang memasak. Titik baliknya pada Idul Fitri 2013 itu. Momen itu membuat Dita merasa yakin bahwa dirinya bisa memasak. Sekarang Dita masih memasak, walau tak rutin. Minimal seminggu sekali, katanya. Tapi ia sudah percaya diri di dapur.
"Saya sebenarnya senang sekali masak makanan Indonesia dan menjamu tamu-tamu bule. Apalagi di sini masakan Indonesia kurang populer dibandingkan masakan Thailand," kata Dita.
Terpisah ribuan kilometer dari Bandung, Dita membayangkan betapa segarnya sayur asam Sunda buatan sang Bibi. Ada sedikit perbedaan antara sayur asam Sunda, Betawi, hingga Jawa Timur. Di Sunda, isiannya lebih minimalis jika dibanding ala Betawi. Tak ada terong, oncom, atau kacang tanah yang belum dikupas. Sayur asam ini amat disukai Dita, apalagi ketika disantap bersama ayam goreng atau ikan goreng. Hidangan itu bertemu di piring, bersama nasi panas. Diberi kondimen sambal kecap. Pelengkapnya, apalagi kalau bukan tahu tempe goreng, lalapan, dan kerupuk aci.
Mungkin Steinbenck benar, sekaligus salah. Tinggal di New York dalam waktu lama dan jatuh cinta dengannya, mungkin bisa membuat seorang perantau melupakan kampung halamannya. Tapi perkara seperti kampung halaman bukanlah hal yang remeh, pun bukan sesuatu yang mudah dilupakan.
Manusia bisa, dan mampu, mencintai dua atau tiga tempat sekaligus. Tempat yang dianggap sebagai rumah. New York bagi Dita, dan banyak New Yorker lain, menyediakan atmosfer yang hidup. Keras, namun hangat. Namun ada hal-hal yang tak bisa diberikan oleh kota ini. Sesuatu yang hanya bisa hadir dan diberikan oleh kampung halaman.
Dalam kasus Dita, itu adalah aneka makanan Sunda buatan sang Bibi. Dan Dita tahu, tak ada sayur asam dan kerupuk aci di New York.
Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan menarik lainnya Nuran Wibisono
(tirto.id - nrn/nqm)