Sehubungan dengan konflik bersenjata di Marawi, klaim itu kedengaran masuk akal, sampai akhirnya otoritas kepolisian mengumumkan serangan dilakukan oleh oleh seorang penjudi yang kalah. Tidak ada bukti keterlibatan ISIS.
Mengapa ISIS tiba-tiba mengklaim aksi yang tidak ia lakukan? Dalam iklim darurat militer di selatan Filipina serta serangkaian teror sepanjang dua bulan terakhir mulai dari Manchester, Paris, Jakarta, Mesir, dan London, apa untungnya mengklaim sesuatu yang bisa mendatangkan kerugian untuk kelompok dan jaringan?
Politik Ketakutan
Yang pertama perlu diperhatikan adalah teror dirancang untuk menarik perhatian publik atas isu-isu tertentu melalui perusakan properti dan kekerasan fisik terhadap manusia. Goal teror bisa menyasar infrastruktur strategis (tangsi militer, arsenal musuh, atau pembangkit tenaga listrik) maupun sesuatu yang simbolik seperti tempat ibadah, kedutaan besar, atau ikon-ikon yang secara umum dipandang merepresentasikan musuh.Dimensi publik (keberadaan audiens dan media) sangat diperhitungkan, semenjak prinsip terorisme kira-kira berbunyi "membunuh beberapa orang dan menakuti ribuan lainnya."
"Meskipun banyak yang menekankan sifat klandestin (sembunyi-sembunyi)," tulis Aaron M. Hoffman dalam laporan penelitiannya, âVoice and silence: Why teams take credit scoreâ (2010), "secara historis sejumlah kelompok teroris terang-terangan berniat menerbitkan klaim pertanggungjawaban mereka."
Hoffman mencatat kaum Zelot pada abad pertama Masehi melakukan serangan di keramaian siang hari guna menarik perhatian publik semaksimal mungkin. Pada abad 19, teroris anarkis memanfaatkan poster untuk tujuan yang sama, sebelum akhirnya hari ini media sosial digunakan untuk mempropagandakan pesan seluas-luasnya.
Ketakutan massal menjadi salah satu alasan penting mengapa aksi teror digencarkan. Dari ketakutan saja, efek yang diharapkan pelaku teror bisa beragam: delegitimasi pemerintah, menunjukkan kegagalan aparat keamanan, memprovokasi tindakan keras dari aparat negara terhadap populasi sehingga memicu pemberontakan massa, hingga menyeret negara ke dalam perang. Untuk yang disebutkan terakhir, teror digunakan guna menciptakan ketakutan dengan harapan publik akan menekan pemerintah agar bersikap lebih keras terhadap pelaku terorâ"atau malah terjun ke kancah perang untuk memberantas terorisme, sebagaimana yang terjadi dalam operasi International Battle on Terror period Presiden Bush.
Analis intelijen Michael Scheuer dalam bukunya Imperial Hubris (2007) menyatakan teror yang dilakukan al-Qaeda dirancang untuk menyeret Amerika Serikat ke dalam perang dan dengan demikian, menguras sumber daya strategis dan memaksa pangkalan-pangkalan militernya di luar negeri gulung tikar. Adapun operasi ISIS di Paris dan London diduga bertujuan membesarkan sentimen rasisme terhadap pendatang muslim, mendorong kebijakan anti-imigrasi, memancing negara untuk mengambil  tindakan-tindakan militer di Suriah.
Namun, perbedaan tujuan juga perlu ditilik. Menurut Hoffman, kelompok-kelompok teroris sayap kiri dan etno-nasionalis yang bertujuan mendirikan negara sendiriâ"misalnya ETA di Basque, Spanyol, dan IRA di Irlandia Utaraâ"cenderung mengklaim aksi-aksi di lapangan ketimbang teroris Islamis-ekstremis seperti ISIS. Perbedaannya signifikan: dalam sejarahnya yang panjang, ETA dan IRA memiliki foundation pendukung sipil yang cukup besar dan terorganisir, sementara ISIS tidak. ETA dan IRA merupakan kelompok regional; sementara kelompok ISIS dan al-Qaeda bekerja layaknya restoran waralaba internasional.
Â
Terorisme adalah Pasar
Osama bin Laden perlu waktu dua bulan untuk mengklaim serangan teror di WTC pada September 2001. Al-Qaeda mengklaim sebagai pelaku teror tiga hari setelah meledakkan bom di kereta bawah tanah Madrid, Spanyol pada 2004. Sementara aksi bom bunuh diri di Wagah, daerah perbatasan Pakistan-India pada 2014 diklaim oleh tiga organisasi yang saling bermusuhan.ÂMenurut Eric Min, ilmuwan politik Stanford dalam sebuah makalahnya yang terbit pada 2013, klaim teroris lebih dimungkinkan dalam serangan yang biayanya tinggi (aksi bunuh diri dan/atau aksi yang membunuh banyak orang) di negara demokratis dan lingkungan yang kompetitif di mana kelompok-kelompok teroris bersaing. Dalam negara demokrasi, langkah-langkah pengamanan yang diperlukan pemerintah untuk mengatasi terorisme seringkali terbentur hambatan kelembagaan, sehingga organisasi teror dapat mengklaim aksi-aksi anonim di lapangan karena risiko untuk direpresi jauh lebih kecil.
Semakin besar dampak aksi teror, semakin mudah ia diklaim. Seperti dikutip Hoffman, mekanisme pasar juga berlaku dalam terorisme. Manajemen sumber daya kelompok teror, logistik, jumlah kompetitor yang bermain pada pasar yang sama, serta keuntungan yang diharapkan bisa diperhitungkan. Organisasi teror menjual perlawanan ke segmentasi publik tertentu yang menginginkan perubahan politik atau mempertahankan establishment. Â
Satu contoh yang dikutip Hoffman adalah organisasi Harkat-ul-Mujahidin di Pakistan, yang menyebarkan poster bergambar senapan guna merekrut anggota baru. Imbalan atas operasi teroris bisa beragam, mulai dari uang tunai untuk upah dan anggaran operasional, sukarelawan untuk melaksanakan misi organisasi, serta dukungan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang mentolerir segala aktivitas yang berkenaan dengan terorisme. Inilah yang diperebutkan oleh kelompok-kelompok teroris.
Baca juga artikel terkait TERORIS atau tulisan menarik lainnya Windu Jusuf
(tirto.id - win/nqm)