Metode "sorogan" kira-kira berarti pelajaran yang dilakukan secara tatap muka dan dilakukan secara particular person antara santri dengan guru atau kiai. Disebut "sorogan" karena santri menghadap kiai sembari membawa kitab yang hendak dipelajarinya (baik Qur'an maupun kitab yang lain). Â
Masing-masing santri bisa berbeda halaman yang disodorkan. Santri A bisa menyodorkan halaman 12, santri B bisa halaman 7 atau yang lain bahkan 30. Tergantung kemajuan masing-masing. Sangat mungkin selama beberapa hari seorang santri tidak beranjak di halaman yang sama karena dianggap tidak memperlihatkan kemajuan.
Metode sorogan ini banyak dipraktikkan, termasuk di surau-surau kampung yang sebenarnya tidak bisa disebut sebagai pondok pesantren. Pelajaran ngaji yang diberikan secara paruh waktu, biasanya hanya selepas magrib sampai selepas isya (salat isya diselenggarakan setelah semua santri kebagian nyorog pada sang guru). Di luar itu, santri-santri melakukan kegiatan di luar surau, tinggal dan tidur di rumah masing-masing, dan sekolah di tempat-tempat pendidikan lainnya, baik itu sekolah umum maupun madrasah.Â
Di banyak kampung, pelajaran yang diberikan biasanya hanya tingkat dasar saja, yaitu hanya belajar membaca Alquran. Goal dari pembelajarannya adalah santri dapat membaca Qur'an dengan cukup baik. Hal lazim pembelajaran tidak membahas arti atau makna Alquran dan memang hanya fokus mendidik santri agar bisa membaca Alquran dengan cukup. Pelajaran dasar ilmu tajwid tentu saja diberikan.
Pengajarnya pun macam-macam latar pendidikan agama. Ada yang memang lulusan pondok pesantren lalu hidup seperti orang kebanyakan, bekerja sehari-hari, dan malamnya mendermakan waktu untuk mengajar anak-anak di sekitar rumahnya. Istilah "kiai kampung" bisa dirujuk kepada guru-guru partikelir macam ini.
Jumlah pengajar bisa lebih dari satu. Jika santri banyak, kiai kampung tersebut biasanya punya "asisten", semacam santri senior, yang dianggap punya pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk membimbing santri-santri junior. Ini dilakukan agar ngaji tidak berlangsung sampai larut.
Pelajaran biasanya dimulai setelah magrib. Setelah semua kebagian mengaji atau nyorog, barulah dilakukan salat isya berjamaah. Setelah berjamaah isya, santri kemudian pulang ke rumah masing-masing. Â Â Â
Itulah kenapa, sangat biasa santri berlomba dulu-duluan mendapatkan pelajaran. Kenapa? Karena dengan begitu santri punya waktu untuk bermain sambil menunggu semua santri mendapatkan giliran nyorog kitab. Mainnya tidak jauh-jauh amat dari lingkungan surau/masjid. Sering kali di halaman surau saja.
Macam-macam permainannya. Sekadar ngobrol-ngobrol atau bermain bola jika sedang purnama. Kadang mampir ke rumah dekat surau yang punya televisi dan menghabiskan waktu sambil menonton acara televisi menunggu waktunya berjamaah salat isya.
Hal seperti itu menjadi pemandangan biasa di salah satu surau di timur Cirebon, 10an kilometer dari kawasan Buntet yang memiliki pesantren besar. Biasanya, setelah khatam Alquran, anak-anak tersebut barulah belajar dengan mondok di pondok pesantren secara penuh waktu.
Di surau tersebut, terdapat sekitar 30an santri yang setiap magrib belajar membaca Alquran. Kiai kampung yang mengelola proses pendidikan itu dibantu oleh tiga santri senior.Â
Suatu hari, sekitar awal tahun 1990an, proses belajar ngaji selesai sekitar jam eight malam. Saat salat isya berjamaah dilakukan, jumlah santri yang ikut salat berjamaah menyusut cukup drastis. Ada sekitar 10an santri yang hari itu hadir belajar mengaji namun menghilang saat waktunya berjamaah isya.Â
Sudah biasa ada satu dua santri yang "mbolos" salat isya. Biasanya tidak ketahuan karena jumlahnya yang tidak signifikan. Tapi malam itu jumlah santri yang menghilang dari barisan jamaah salat isya sangat signifikan sehingga mudah sekali ketahuan.
"Pada ke mana ini? Kok banyak yang tidak ada?" tanya Abah Rosyid, kiai kampung yang mengelola pembelajaran di surau tersebut, beberapa saat sebelum salat isya.
Ia mengabsen nama-nama yang tidak kelihatan batang hidungnya. Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Abah Rosyid. Tiga santri senior yang menjadi asisten Abah Rosyid pun tidak tahu ke mana gerangan 10 santri yang bolos itu. Tiga santri senior itu hanya mengatakan bahwa malam itu 10 bocah tersebut paling awal nyorog. Setelah itu mereka langsung menghilang.
Setelah salat isya, dan semua santri sudah pulang, Abah Rosyid berjalan pulang dari surau menuju rumahnya. Di tengah jalan, ia mendengar lamat-lamat suara musik dangdut. Abah Rosyid ingat bahwa di kampung sebelah sedang ada hajatan pernikahan yang menggelar hiburan orkes dangdut. Ia langsung menduga: 10 santri yang bolos itu pergi menonton dangdut.
Ia memutuskan untuk langsung mendatangi lokasi hajatan yang menampilkan hiburan musik dangdut. Sesampainya di lokasi, ia langsung mendekati panggung. Di sana ada puluhan orang yang sedang asyik berjoget. Namun, Abah Rosyid tidak melihat satu pun santrinya. Hal yang wajar karena, biasanya, orang-orang yang joget di depan panggung adalah orang-orang dewasa, lebih sering lagi adalah para pemuda desa.
Abah Rosyid tidak lekas menyerah. Ia segera memutari seantero lokasi hiburan dangdut yang berada di halaman sebuah rumah yang punya hajat. Halamannya cukup luas. Namun Abah Rosyid agak kesulitan mengamati karena saat itu lampu tidak tersebar merata, sehingga banyak tempat yang gelap. Maklum, listrik memang belum masuk ke desa tersebut, sehingga listrik dari diesel hanya difokuskan di sekitar panggung dan rumah si empunya hajat.
Di sebuah sudut, letaknya di pinggir kebun di samping halaman, sekitar 20 meter dari panggung, Abah Rosyid melihat sekelompok bocah sedang berjoget dengan asyik. Wajah mereka tidak terlihat karena sarung dipakai menutupi kepala ala Ninja sehingga hanya kelihatan matanya saja. Namun Abah Rosyid tahu mereka adalah bocah-bocah karena semuanya mengenakan celana kolor pendek. Orang dewasa, atau para pemuda, tidak mungkin kongkow-kongkow di acara dangdut dengan memakai celana kolor.Â
Abah Rosyid langsung merasa yakin bahwa bocah-bocah itu adalah 10 santri yang bolos salat isya berjamaah. Ia sudah menghitung, dan jumlah mereka memang 10. Untuk beberapa saat Abah Rosyid terdiam memikirkan langkah apa yang harus dilakukan. Menjewer mereka tentu saja opsi paling mudah, dan semua orang akan menganggapnya wajar. Namun, langkah itu akan mempermalukan mereka. Ia ragu mengambil tindakan hukuman macam itu.
Saat biduan dangdut sedang asyik melantunkan lagu "Mabuk dan Judi" yang dipopulerkan oleh Cucu Cahyati, Abah Rosyid mendapatkan ide. Saat 10 bocah itu belum menyadari kehadiran guru ngajinya itu, Abah Rosyid segera menaikkan sarungnya, melilitkannya di pinggang, sehingga terlihat celana kolor yang dipakainya. Lalu ia
bergerak diam-diam mendekati 10 bocah yang bandel itu. Ia tidak berteriak memarahi, tidak juga menjewer.
Yang dilakukan Abah Rosyid adalah langsung bergabung dengan 10 bocah bandel itu. Ikut-ikutan berjoget. Abah Rosyid bahkan ikut bernyanyi dengan suara baritonnya yang tebal itu:Â
Mabuk lagi, ahhhh.... mabuk lagi, aaahhhh...
Judi lagi, ahhhh.... judi lagi, ahhhh....
Ku tak mau terus begini
Putuskan saja hubungan
Jangan lagi bertunangan
Begitu menyadari kehadiran Abah Rosyid yang ikut-ikutan berjoget, 10 santri itu langsung lari terbirit-birit. Mereka menyadari bahwa kebandelan malam itu telah diketahui dan tertangkap basah.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Baca juga artikel terkait DAFFY AL-JUGJAWY atau tulisan menarik lainnya Ahmad Khadafi
(tirto.id - daf/zen)