TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Persekusi adalah istilah yang oleh dunia internasional, menurut Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), digunakan untuk menggambarkan kejahatan serius.
Istilah tersebut menurutnya antara lain digunakan pada kasus Rwanda pada 1994 lalu.
Kepada wartawan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa (6/6/2017), di Rwanda, kasus persekusi atau perburuan sewenang-wenang serta aksi major hakim sendiri, terjadi antara lain karena kebencian suku Hutu terhadap suku Tutsi, ditambah dengan faktor bahwa Rwanda adalah negara gagal.
"Sementara negara yang tidak bisa melindung warganya, maupun penegak hukum yang tidak dipercaya, hal itu merupakan unsur tambahan saja. Faktor utamanya adalah kebencian," katanya.
Di Rwanda genosida terjadi terhadap suku Tutsi. Pembantaian etnis tersebut dilakukan secara sistematis, dan merata di seluruh negara. Atas peristiwa tersebut, diduga 500.000 - 1.000.000 orang tewas.
Sementara di Indonesia, istilah persekusi digunakan untuk menggambarkan aksi penngejaran oleh kelompok yang tidak berwenang, terhadap orang-orang yang dianggap melecehkan ulama atau agama Islam, di dunia maya.
Kasus tersebut antara lain menimpa PMA, seorang remaja berumur 15 tahun dari Cipinang Muara, Jakarta Timur.
PMA yang dianggap melecehkan Imam Besar Entrance Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab atau Habib Rizieq, diintimidasi oleh puluhan orang yang mengaku berasal dari FPI.
Salah satu pelaku bahkan sempat menampar PMA.
Komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah, dalam kesempatan yang sama menambahkan bahwa di Indonesia istilah persekusi belum diatur secara spesifik.
Sehingga tidak salah bila kasus pengejaran yang saat ini marak terjadi, disebut sebagai persekusi.
"Jadi terma (persekusi) tersebut bisa dipakai," ujarnya.
Unsur yang diperlkukan untuk menentukan paakah kejahatan tersebut termasuk dalam persekusi, yang kasusnya sudah banyak disidangkan di discussion board internasional, menurut Roichatul Aswidah, adalah unsur sistematis dan unsur meluas.